Dia lelah,
tentu saja lelah namun tak mau terlihat
lelah. Sosok mulia itu terus mengajak kaumnya mengesakan Allah, mengunjungi
kabilah demi kabilah. Namun terusir
dengan lemparan batu, kotoran unta, cibiran bahkan diteriaki gila. Sang terpercaya
tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya, namun ia tak menyerah, walau
lelah, walau lemah. Jiwanya menjerit
melihat pengikutnya disakiti. Ditengah ketidak berdayaannya melihat
penganiayaan yang makin meningkat hari demi hari, kini dua pelindung utama da’wah
Islam justru berpulang menghadap Rabb nya. Sang paman terkasih yang senantiasa
memberikan perlindungan siang dan malam, walau hingga akhir hayat tak berkesempatan bersyahadat. Istri tercinta tempat berbagi lelah
raga dan jiwa yang selalu setia kini tiada lagi mengiringi.
Menghadap sang pencipta keindahan, sang
pembentuk cinta, Dzat yang maha sempurna, ia syahdu raganya ringan. Kesyahduan,
keterpesonaan kesejukan, kenikmatan ruhani kelegaan jiwa semua rasa tak
terlukiskan memenuhi jiwanya. Dari perjalanan malam itu kini kita mengenagnya
dengan shalat, lima kali dalam satu hari kita menundukkan hati pikiran dan jiwa,
sujud kepada Dzat yang maha indah mengisi jiwa kita yang tersibukkan oleh dunia
yang hina. Namun kenapa sebuah perintah dengan sejarah yang begitu indah
luar biasa seringkali kita sebut sebagai beban, penyita waktu dan kewajiban yang
menyiksa?
Dan saat
Rasulullah bersiap kembali jibril menawarkan “tinggallah lebih lama lagi,
bersama kami dekat dengan Ilahi” sosok mulia itu menjawab “Tidak! Di bumi masih
banyak yang belum beriman, disana aku mengabdi, berkarya, berkoban hingga batas
waktu yang telah ditentukan”
Tentu Allah
adalah hal yang paling dicintainya, bersama-Nya sepajang waktu adalah cita dan
harapannya, namun dia tetap memilih bersegera kembali ke kaumnya, membagikan
kenikmatan iman dalam keseharian. Namun kini seolah kita lupa bahwa sujud sujud
yang kita lakukan merupakan bentuk langsung terhubungnya mahluk yang hina
dengan Allah yang maha indah, terhubungnya manusia yang fana dengan kekuatan
yang abadi. Bahkan kini kita merasa terbelenggu oleh aturah keseharian agama
kita yang dulu diperjuangkan bukan hanya dengan tetesan keringat namun juga dengan
darah. Kita seolah lupa bahwa mereka
para asabiqul awalum tidak berkorban untuk sebuah kesia siaan. Kita terkungkung
dengan penilaian sebatas mata, pikiran kita tidak mampu menggapai sesuatu yang
tak kasat mata, pikiran yang menuntut “hadirkan sekarang juga, didepan mata
baru percaya” kita terkungkung dengan mata, berpikir sebatas apa yang mampu
dilihat, tanpa menelaah apa sebenarnya yang kita lakukan.
semoga menjadi motivasi untuk yang membaca...
BalasHapus